Jumat, 09 Maret 2012

kompilasi hukum islam


A.     Pengertian Kompilasi Hukum Islam

Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah sekumpulan materi hukum Islam yang ditulis pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal, terdiri atas tiga kelompok materi hukum, yaitu Hukum Perkawinan (170 pasal), Hukum Kewarisan termasuk wasiat dan hibah (44 pasal) dan Hukum Perwakafan (14 pasal), ditambah satu pasal ketentuan penutup yang berlaku untuk ketiga kelompok hukum tersebut. KHI disusun melalui jalan yang sangat panjang dan melelahkan karena pengaruh perubahan sosial politik terjadi di negeri ini dari masa ke masa.[1]

B.     Sosialisasi Kompilasi Hukum Islam

Inpres Nomor 1 Tahun 1991 pada dasarnya adalah perintah sosialisasi KHI untuk digunakan oleh instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya. Secara tegas dalam inpres tersebut disebutkan bahwa Presiden mengintruksikan kepada Menteri Agama untuk menyeberluaskan KHI. Dmikian pula kepetusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991, ada tiga butir penting disebutkan dalam dalam keputusan tersebut, yaitu pertama, seluruh intansi pemerintah lainnya yang terkait agar menyebarluaskan KHI di bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan Perwakafan untuk digunakan oleh intansi pemerintah dan masyarakat  yang memerlukannya dalam menyelesaikan masalah di bidang hukum tersebut. Kedua, seluruh lingkungan intansi tersebut dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum sedapat munkin menerapkan KHI di samping peraturan perundangan lainnya. Ketiga;  Dirjen Binbaga Islam dan Dirjen BIUH mengkoordinasikan pelaksanaan keputusan menteri ini dalam bidang tugasnya masing-masing.

Jika Impres Nomor 1 tahun 1991 dan Kepmenag Nomor 154 Tahun dillaksankan dengan baik, minimal oleh seluruh intansi di lingkungan Departemen Agama, disertai dengan penyediaan sarana Prasarananya maka penyebarluasan dan penerapan KHI akan lebih baik dari sekarang.

Sebetulnya sosialisasi KHI dapat dilakukan oleh berbagai unit kerja dengan diintregasikan bersama kegiatan lainnya. Sebagai contoh di lingkungan perguruan tinggi dan madrasah , serta pesantren, KHI dapat dimasukkan sebagai salah satu mata kuliah/mata pelajaran terkait .

Dalam kegiatan sosialisasi KHI di lingkungan peradilan agama, dari tahun ke tahun sampai sekarang, naskah KHI dan bahan-bahan penyuluhan lainnya terus dicetak dan digandakan sesuai kebutuhan dan dana yang tersedia. Untuk lapisan masyarakat tertentu , penyuluhan, dilakukan dengan metode seminar, sebagaimana yang telah dilakukan di berbagai  wilayah Indonesia.[2]


C.     Kompilasi Peradilan Agama dalam Bidang Perkara Waris[3]


Di dalam tata hukum Indonesia, berlakunya bidang hukum bagi orang Islam berlain-lainan. Orang Islam yang akan membagi warisan tidak harus tunduk pada ketentuan menurut Hukum Kewarisan Islam. Hal ini diantaranya di dasarkan pada Pasal 49 dan Penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Pasal 49 ini diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pasal 49 menegaskan tentang kewenangan absolut Peradilan Agama. Pasal ini berbunyi :

Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a.      Perkawinan
b.      Waris
c.       Wasiat
d.      Hibah
e.       Wakaf
f.        Zakat
g.      Infaq
h.      Shadaqah
i.        Ekonomi  syari’ah

Di dalam penjelasan khususnya Pasal 49 huruf b ditegaskan bahwa bidang kewarisan adalah mengenai penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan harga peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
Sehubungan dengan hal tersebut, para pihak dapat mempertimbangkan untuk memiliki hukum apa yang akan dipergunakan dalam pembagian warisan.
Kesimpulan dari penjelasan tersebut, yakni menurut hukum positif (tata hukum) Indonesia, orang Islam tidak harus tunduk pada hukum kewarisan Islam apabila mereka hendak membagi warisan. Orang Islam boleh menggunakan pranata hukum lain (misalnya, hukum kewarisan adat atau hukum kewarisan berdasrkan KUH perdata) apabila hendak membagi kewarisan.
Adanya kenyataan sebagaimana diuraikan di atas menyebabkan analisis yang mendalam mengenai hukum kewarisan Islam di Indonesia mempunyai urgensi yang amat menonjol.
Semakin diterima dan meluasnya pendapat bahwa baik Al-Qur’an dan As-Sunnah menghendaki sistem bilateral di bidang kewarisan, menyebabkan ada pembaruan yang cukup menonjol dalam Kompilasi Hukum Islam.



[2] Wahyu Widiana, op.cit. hlm. 1.
[3] Drs. Moh. Muhibin S.H dan Drs. Abdul Wahid S.H. M.A. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta. Sinar Grafika. Hal 173

4 komentar:

  1. bagaimana jika terjadi perbedaan diantara para ahli warisnya sendiri ? misalnya ada yang menghendaki KHI dan dilain pihak memakai hukum waris islam berdasarkan alquran dan sunah ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. penghitungan warisan KHI itu berdasarkan ayat2 alquran dan hadis2 rasulullah

      Hapus
  2. Terima kasih atas informasinya, izin kopi ya.

    Thanks
    pengencang payudara

    BalasHapus
  3. artikelnya ini ada yang salah broo..di dalam penjelasan UU no.3 Thn 2006 disebutkan, sudah tidak ada lagi pilihan hukum bagi golongan islam. setiap orang beragama islam wajib tunduk pada pengadilan agama. dan masalah pembagian warisan harus secara hukum islam juga cfm.KHI

    BalasHapus