Di dalam literatur fiqih, lelang
dikenal dengan istilah muzayadah. Muzayadah sendiri berasal dari kata ziyadah
yang artinya bertambah. Muzayadah berarti saling menambahi. Maksudnya,
orang-orang saling menambahi harga tawar atas suatu barang.
Dan sebagaimana kita tahu, dalam prakteknya dalam sebuah penjualan lelang, penjual menawarkan barang di kepada beberapa calon pembeli. Kemudianpara calon pembeli itu saling mengajukan harga yang mereka inginkan. Sehingga terjadilah semacam saling tawar dengan suatu harga.
Penjual nanti akan menentukan siapa yang memang, dalam arti yang berhak menjadi pembeli. Biasanya pembeli yang ditetapkan adalah yang berani mengajukan harga tertinggi. Lalu terjadi akad dan pembeli tersebut mengambil barang dari penjual.
Hukum Lelang
Ada pendapat ulama yang membolehkan hukum lelang, tapi ada juga yang memakruhkannya. Hal itu karena memang ada beberapa sumber hukum yang berbeda. Ada hadits yang membolehkannya dan ada yang tidak membolehkannya.
1. Yang Membolehkan
Yang membolehkan lelang ini adalah jumhur (mayoritas ulama). Dasarnya adalah apa yang dilakukan langsung oleh Rasulullah SAW di masa beliau hidup. Ternyata beliau juga melakukan transaksi lelang dalam kehidupannya. Di antara hadits yang membolehkannya antara lain :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُهُ فَقَالَ لَكَ فِي بَيْتِكَ شَيْءٌ قَالَ بَلَى حِلْسٌ نَلْبَسُ بَعْضَهُ وَنَبْسُطُ بَعْضَهُ وَقَدَحٌ نَشْرَبُ فِيهِ الْمَاءَ قَالَ ائْتِنِي بِهِمَا قَالَ فَأَتَاهُ بِهِمَا فَأَخَذَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ ثُمَّ قَالَ مَنْ يَشْتَرِي هَذَيْنِ فَقَالَ رَجُلٌ أَنَا آخُذُهُمَا بِدِرْهَمٍ قَالَ مَنْ يَزِيدُ عَلَى دِرْهَمٍ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا قَالَ رَجُلٌ أَنَا آخُذُهُمَا بِدِرْهَمَيْنِ فَأَعْطَاهُمَا إِيَّاهُ وَأَخَذَ الدِّرْهَمَيْنِ فَأَعْطَاهُمَا الْأَنْصَارِيَّ
Dari Anas bin Malik ra bahwa ada seorang lelaki Anshar yang datang menemui Nabi saw dan dia meminta sesuatu kepada Nabi saw. Nabi saw bertanya kepadanya,”Apakah di rumahmu tidak ada sesuatu?” Lelaki itu menjawab,”Ada. Dua potong kain, yang satu dikenakan dan yang lain untuk alas duduk, serta cangkir untuk meminum air.” Nabi saw berkata,”Kalau begitu, bawalah kedua barang itu kepadaku.” Lelaki itu datang membawanya. Nabi saw bertanya, ”Siapa yang mau membeli barang ini?” Salah seorang sahabat beliau menjawab,”Saya mau membelinya dengan harga satu dirham.” Nabi saw bertanya lagi,”Ada yang mau membelinya dengan harga lebih mahal?” Nabi saw menawarkannya hingga dua atau tiga kali. Tiba-tiba salah seorang sahabat beliau berkata,”Aku mau membelinya dengan harga dua dirham.” Maka Nabi saw memberikan dua barang itu kepadanya dan beliau mengambil uang dua dirham itu dan memberikannya kepada lelaki Anshar tersebut… (HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa`i, dan at-Tirmidzi)
Hadits ini menjadi dasar hukum dibolehkannya lelang dalam syariah Islam. Lantaran Nabi SAW sendiri mempraktekkannya. Sehingga tidak ada alasan untuk mengharamkannya.
Kebolehan transaksi lelang ini dikomentari oleh Ibnu Qudamah sebagai sesuatu yang sudah sampai ke level ijma` (tanpa ada yang menentang) di kalangan ulama.
2. Yang Memakruhkan
Namun ternyata ada juga ulama yang memakruhkan transaksi lelang. Di antaranya Ibrahim an-Nakha`i. Beliau memakruhkan jual beli lelang, lantaran ada dalil hadits dari Sufyan bin Wahab bahwa dia berkata,
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع المزايدة
Aku mendengar Rasulullah saw melarang jual beli lelang. (HR Al-Bazzar).
Sedangkan Ibnu Sirin, Al-Hasan Al-Basri, Al-Auza`i, Ishaq bin Rahawaih, memakruhkannya juga, bila yang dilelang itu bukan rampasan perang atau harta warisan. Maksudnya, kalau harta rampasan perang atau warisan itu hukumnya boleh. Sedangkan selain keduanya, hukumnya tidak boleh atau makruh.
Dasarnya adalah hadits berikut ini :
عن ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : نَهَى رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَ أَحَدُكُمْ عَلَى بَيْعِ أَحَدٍ حَتَّى يَذَرَ إِلاَّ الْغَنَائِمَ وَالْمَوَارِيثَ
Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAw melarang seseorang di antara kalian membeli sesuatu yang sedang dibeli oleh saudaranya hingga dia meninggalkannya, kecuali rampasan perang dan waris.
Sayangnya, banyak yang mengkritik bahwa keuda hadits di atas kurang kuat. Dalam hadits yang pertama terdapat perawi bernama Ibnu Luhai’ah dan dia adalah seorang rawi yang lemah (dha`if). Sedangkan hadits yang kedua, Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan hadits itu dhaif. (Lihat Fathulbari 4 : 354)
Untuk itu, menurut jumhur ulama, kesimpulannya masalah lelang ini dibolehkan, asalkan memang benar-benar seperti yang terjadi di masa Rasulullah SAW. Artinya, lelang ini tidak bercampur dengan penipuan, atau bercampur dengan trik-trik yang memang dilarang.
Dan sebagaimana kita tahu, dalam prakteknya dalam sebuah penjualan lelang, penjual menawarkan barang di kepada beberapa calon pembeli. Kemudianpara calon pembeli itu saling mengajukan harga yang mereka inginkan. Sehingga terjadilah semacam saling tawar dengan suatu harga.
Penjual nanti akan menentukan siapa yang memang, dalam arti yang berhak menjadi pembeli. Biasanya pembeli yang ditetapkan adalah yang berani mengajukan harga tertinggi. Lalu terjadi akad dan pembeli tersebut mengambil barang dari penjual.
Hukum Lelang
Ada pendapat ulama yang membolehkan hukum lelang, tapi ada juga yang memakruhkannya. Hal itu karena memang ada beberapa sumber hukum yang berbeda. Ada hadits yang membolehkannya dan ada yang tidak membolehkannya.
1. Yang Membolehkan
Yang membolehkan lelang ini adalah jumhur (mayoritas ulama). Dasarnya adalah apa yang dilakukan langsung oleh Rasulullah SAW di masa beliau hidup. Ternyata beliau juga melakukan transaksi lelang dalam kehidupannya. Di antara hadits yang membolehkannya antara lain :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُهُ فَقَالَ لَكَ فِي بَيْتِكَ شَيْءٌ قَالَ بَلَى حِلْسٌ نَلْبَسُ بَعْضَهُ وَنَبْسُطُ بَعْضَهُ وَقَدَحٌ نَشْرَبُ فِيهِ الْمَاءَ قَالَ ائْتِنِي بِهِمَا قَالَ فَأَتَاهُ بِهِمَا فَأَخَذَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ ثُمَّ قَالَ مَنْ يَشْتَرِي هَذَيْنِ فَقَالَ رَجُلٌ أَنَا آخُذُهُمَا بِدِرْهَمٍ قَالَ مَنْ يَزِيدُ عَلَى دِرْهَمٍ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا قَالَ رَجُلٌ أَنَا آخُذُهُمَا بِدِرْهَمَيْنِ فَأَعْطَاهُمَا إِيَّاهُ وَأَخَذَ الدِّرْهَمَيْنِ فَأَعْطَاهُمَا الْأَنْصَارِيَّ
Dari Anas bin Malik ra bahwa ada seorang lelaki Anshar yang datang menemui Nabi saw dan dia meminta sesuatu kepada Nabi saw. Nabi saw bertanya kepadanya,”Apakah di rumahmu tidak ada sesuatu?” Lelaki itu menjawab,”Ada. Dua potong kain, yang satu dikenakan dan yang lain untuk alas duduk, serta cangkir untuk meminum air.” Nabi saw berkata,”Kalau begitu, bawalah kedua barang itu kepadaku.” Lelaki itu datang membawanya. Nabi saw bertanya, ”Siapa yang mau membeli barang ini?” Salah seorang sahabat beliau menjawab,”Saya mau membelinya dengan harga satu dirham.” Nabi saw bertanya lagi,”Ada yang mau membelinya dengan harga lebih mahal?” Nabi saw menawarkannya hingga dua atau tiga kali. Tiba-tiba salah seorang sahabat beliau berkata,”Aku mau membelinya dengan harga dua dirham.” Maka Nabi saw memberikan dua barang itu kepadanya dan beliau mengambil uang dua dirham itu dan memberikannya kepada lelaki Anshar tersebut… (HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa`i, dan at-Tirmidzi)
Hadits ini menjadi dasar hukum dibolehkannya lelang dalam syariah Islam. Lantaran Nabi SAW sendiri mempraktekkannya. Sehingga tidak ada alasan untuk mengharamkannya.
Kebolehan transaksi lelang ini dikomentari oleh Ibnu Qudamah sebagai sesuatu yang sudah sampai ke level ijma` (tanpa ada yang menentang) di kalangan ulama.
2. Yang Memakruhkan
Namun ternyata ada juga ulama yang memakruhkan transaksi lelang. Di antaranya Ibrahim an-Nakha`i. Beliau memakruhkan jual beli lelang, lantaran ada dalil hadits dari Sufyan bin Wahab bahwa dia berkata,
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع المزايدة
Aku mendengar Rasulullah saw melarang jual beli lelang. (HR Al-Bazzar).
Sedangkan Ibnu Sirin, Al-Hasan Al-Basri, Al-Auza`i, Ishaq bin Rahawaih, memakruhkannya juga, bila yang dilelang itu bukan rampasan perang atau harta warisan. Maksudnya, kalau harta rampasan perang atau warisan itu hukumnya boleh. Sedangkan selain keduanya, hukumnya tidak boleh atau makruh.
Dasarnya adalah hadits berikut ini :
عن ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : نَهَى رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَ أَحَدُكُمْ عَلَى بَيْعِ أَحَدٍ حَتَّى يَذَرَ إِلاَّ الْغَنَائِمَ وَالْمَوَارِيثَ
Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAw melarang seseorang di antara kalian membeli sesuatu yang sedang dibeli oleh saudaranya hingga dia meninggalkannya, kecuali rampasan perang dan waris.
Sayangnya, banyak yang mengkritik bahwa keuda hadits di atas kurang kuat. Dalam hadits yang pertama terdapat perawi bernama Ibnu Luhai’ah dan dia adalah seorang rawi yang lemah (dha`if). Sedangkan hadits yang kedua, Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan hadits itu dhaif. (Lihat Fathulbari 4 : 354)
Untuk itu, menurut jumhur ulama, kesimpulannya masalah lelang ini dibolehkan, asalkan memang benar-benar seperti yang terjadi di masa Rasulullah SAW. Artinya, lelang ini tidak bercampur dengan penipuan, atau bercampur dengan trik-trik yang memang dilarang.
Kata Kunci : Hukum Jual Beli Lelang Dalam
Pandangan Islam
A. Pendahuluan
Lelang adalah salah satu jenis jual
beli dimana penjual menawarkan barang di tengah keramaian lalu para pembeli
saling menawar dengan suatu harga. Namun akhirnya penjual akan menentukan, yang
berhak membeli adalah yang mengajukan harga tertinggi. Lalu terjadi akad dan
pembeli tersebut mengambil barang dari penjual. Dalam kitab-kitab fiqih atau
hadits, jual beli lelang biasanya disebut dengan istilah bai’ al-muzayadah
(adanya penambahan). Hukum lelang Dalam syariat Islam masih dalam tahap
kontropersi yaitu ada diantaranya yang menyatakan boleh dan ada juga yang
Mengatakan makruh hukmnya. Berdasarkan pendapat tersebut tentunya kita harus
meruJuk pada sumber yang memang dapat dipercaya ayitu pada Al-Quran dan Hadits.
Rasulullah pernah dalam suatu waktu pernah melakukan lalang yaitu ketika ada
seorang pengemis yang meminta-minta dan disana Rasulullah melakukan lelang
terhadap barang yang dimiliki seorang pengemis tersebut. Didalam Surat An-Nisa
ayat 29 dan Al-Mulk ayat 15 diterangkan bahwa adanya kebebasan, keleluasaan dan
keluasan ruang gerak bagi kegiatan usaha umat Islam dalam rangka mencari
karunia Allah berupa rezki yang halal melalui berbagai bentuk transaksi saling
menguntungkan yang berlaku di masyarakat tanpa melanggar ataupun merampas
hak-hak orang lain secara tidak sah.
Setiap transaksi jual beli baik itu
lelang maupun jual beli secara langsung memiliki ketentuan sebagai berikut :
1. Bila transaksi sudah dilakukan dengan seseorang,
maka orang lain tidak boleh menginvestasikan dan melakukan transaksi kedua.
2. Mempertimbangkan pilihan yang dibolehkan dalam
transaksi jual beli, dengan ketentuan –ketentuan yang ditentukan.
3. Transaksi dagang hanya untuk barang yang sudah ada
dan dapat dikenali segala identitasnya.
4. Bersumpah dalam transaksi dagang tidak
diperbolehkan
5. Dalam transaksi jual beli dianjurkan ada saksi.
Melihat dari segi pembahasanya lelang
merupakan salah satu bentuk jual beli antara pedagang dengan peserta yang
menjadi pembeli tetapi dalam hal ini barang yang dijual tidak selalu
secara nyata dan ini akan dibahas pada uraian selanjutnya.
B. Permasalahan
Lelang ada dalam Islam dan hukumnya boleh (mubah). Ibnu Abdil Barr
berkata,"Sesungguhnya tidaklah haram menjual barang kepada orang yang
menambah harga, demikianlah menurut kesepakatan ulama. Dalam aktivitas dan
transaksi bisnis kontemporer baik yang dilakukan swasta maupun pemerintah,
individu maupun lembaga sering dipakai cara lelang atau tender dalam penjualan
suatu barang/jasa dan penawaran tender proyek. Dalam praktiknya, tidak jarang
terjadi penyimpangan prinsip syariah seperti manipulasi, kolusi maupun
permainan kotor lainnya. Permasalahan lelang memang merupakan masalah yang
berada diantara aspek yang berbeda yaitu dari aspek bisnis dan atiran agama
yang mengatur segala bentuk hal yang ada dalam kehidupan manusia. Tetapi
kemudian timbul beberapapertanyaan mengenai lelang ini yaitu Apakah sebenarnya
yang dimaksud dengan jual beli lelang itu ? dalam praktik bisnis dan kaitannya
dengan tender, bagaimana pendapat para ulama tentang jual beli lelang ?. Adakah
unsur riba dalam jual beli lelang karena lelang itu sendiri ?. Apakah tidak
termasuk larangan Nabi saw tentang menawar di atas tawaran orang lain ?
Bolehkah berprofesi sebagai juru lelang atau bekerja di balai lelang?
C. Pembahasan
Lelang menurut pengertian transaksi
mua’amalat kontemporer dikenal sebagai bentuk penjualan barang di depan umum
kepada penawar tertinggi. Dalam Islam juga memberikan kebebasan keleluasaan dan
keluasan ruang gerak bagi kegiatan usaha umat Islam dalam rangka mencari
karunia Allah berupa rezki yang halal melalui berbagai bentuk transaksi saling
menguntungkan yang berlaku di masyarakat tanpa melanggar ataupun merampas
hak-hak orang lain secara tidak sah.
QS.An-Nisa’ Ayat 29
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
QS.Al-Mulk:15
Artinya :
Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu,
maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya.
Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.
Lelang dapat berupa penawaran barang
tertentu kepada penawar yang pada mulanya membuka lelang dengan harga rendah
kemudian semakin naik sampai akhirnya diberikan kepada calon pembeli dengan
harga tertinggi sebagaimana disebut dengan lelang naik. Pada prinsipnya,
syariah Islam membolehkan jual beli barang/ jasa yang halal dengan cara lelang
yang dalam fiqih disebut sebagai akad Bai’ Muzayadah. (Ibnu Juzzi, Al-Qawanin
Al-Fiqhiyah, 290, Majduddin Ibnu Taimiyah, Muntaqal Akhbar, V/101) Praktik
lelang (muzayadah) dalam bentuknya yang sederhana pernah dilakukan oleh Nabi
saw. ketika didatangi oleh seorang sahabat dari kalangan anshar meminta sedekah
kepadanya. Lalu Nabi bertanya: “Apakah di rumahmu ada suatu aset/barang?” Ia
menjawab ya ada, sebuah hils (kain usang) yang kami pakai sebagai selimut
sekaligus alas dan sebuah qi’b (cangkir besar dari kayu) yang kami pakai minum
air. Lalu beliau menyuruhnya mengambil kedua barang tersebut. Ketika ia
menyerahkannya kepada Nabi, beliau mengambilnya lalu menawarkannya: “Siapakah
yang berminat membeli kedua barang ini?” Lalu seseorang menawar keduanya dengan
harga satu dirham. Maka beliau mulai meningkatkan penawarannya: “Siapakah yang
mau menambahkannya lagi dengan satu dirham?” lalu berkatalah penawar lain:
“Saya membelinya dengan harga dua dirham” Kemudian Nabi menyerahkan barang
tersebut kepadanya dan memberikan dua dirham hasil lelang kepada sahabat anshar
tadi.(HR.Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah). Ibnu Qudamah, Ibnu Abdil Bar dan
lainnya meriwayatkan adanya ijma’ (kesepakatan) ulama tentang bolehnya
jual-beli secara lelang bahkan telah menjadi kebiasaan yang berlaku di pasar
umat Islam pada masa lalu. Sebagaimana Umar bin Khathab juga pernah
melakukannya demikian pula karena umat membutuhkan praktik lelang sebagai salah
satu cara dalam jual beli. (Al-Mughni, VI/307, Ibnu Hazm, Al-Muhalla, IX/468).
Diriwayatkan oleh Abu Dawud,
at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan juga Ahmad.
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُهُ فَقَالَ لَكَ فِي بَيْتِكَ شَيْءٌ
قَالَ بَلَى حِلْسٌ نَلْبَسُ بَعْضَهُ وَنَبْسُطُ بَعْضَهُ وَقَدَحٌ نَشْرَبُ
فِيهِ الْمَاءَ قَالَ ائْتِنِي بِهِمَا قَالَ فَأَتَاهُ بِهِمَا فَأَخَذَهُمَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ ثُمَّ قَالَ مَنْ
يَشْتَرِي هَذَيْنِ فَقَالَ رَجُلٌ أَنَا آخُذُهُمَا بِدِرْهَمٍ قَالَ مَنْ
يَزِيدُ عَلَى دِرْهَمٍ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا قَالَ رَجُلٌ أَنَا آخُذُهُمَا
بِدِرْهَمَيْنِ فَأَعْطَاهُمَا إِيَّاهُ وَأَخَذَ الدِّرْهَمَيْنِ فَأَعْطَاهُمَا
الْأَنْصَارِيَّ
Bentuk lain dari lelang seperti
perebutan proyek yang akan dibangun atau dengan istilah lainya yaitu tender,
dalam Dari Anas bin Malik ra bahwa ada seorang lelaki Anshar yang datang
menemui Nabi saw dan dia meminta sesuatu kepada Nabi saw. Nabi saw bertanya
kepadanya,”Apakah di rumahmu tidak ada sesuatu?” Lelaki itu menjawab,”Ada. Dua
potong kain, yang satu dikenakan dan yang lain untuk alas duduk, serta cangkir
untuk meminum air.” Nabi saw berkata,”Kalau begitu, bawalah kedua barang itu
kepadaku.” Lelaki itu datang membawanya. Nabi saw bertanya, ”Siapa yang mau
membeli barang ini?” Salah seorang sahabat beliau menjawab,”Saya mau membelinya
dengan harga satu dirham.” Nabi saw bertanya lagi,”Ada yang mau membelinya
dengan harga lebih mahal?” Nabi saw menawarkannya hingga dua atau tiga kali.
Tiba-tiba salah seorang sahabat beliau berkata,”Aku mau membelinya dengan harga
dua dirham.” Maka Nabi saw memberikan dua barang itu kepadanya dan beliau
mengambil uang dua dirham itu dan memberikannya kepada lelaki Anshar
tersebut.(HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa`i, dan at-Tirmidzi).
Makna penawaran tender yaitu suatu
penawaran atau pengajuan oleh pentender untuk memperoleh persetujuan
(acceptance) mengenai alat bayar sah (legal tender), atau jasa guna melunasi
suatu hutang atau kewajiban agar terhindar dari hukuman atau penyitaan jika tak
dilunasi. Dalam kontrak bisnis, tender merupakan suatu penawaran yang dilakukan
oleh pemasok (supplier) atau kontraktor untuk memasok/memborong barang atau
jasa berupa penawaran terbuka (open tender) di mana para peserta tender dapat
bersaing menurunkan harga dengan kualitas yang dikehendaki; atau berupa
penawaran tertutup (sealed tender) di mana penawaran dimasukkan dalam amplop
bermaterai dan dibuka secara serempak pada saat tertentu untuk dipilih yang
terbaik dari aspek harga maupun kualitas dan para peserta dapat menurunkan
harga lagi. Tender juga sering dipakai untuk pelaksanaan suatu proyek di mana
pemilik proyek melakukan lelang dan calon peserta/pelaksana proyek mengajukan
penawaran atau tender dengan persaingan harga terendah dan barang/jasa yang
sesuai. Biasanya yang sering terjadi penyimpangan dalam tender di antaranya
berupa penawaran cincai/kolusi (collusive tendering) dengan praktik sogok dan
atau cara lainnya yang tidak sehat untuk memenangkan penawaran atau tendernya.
Meskipun demikian ada sebagian ulama
seperti an-Nakha`i memakruhkan jual beli lelang, dengan dalil hadits dari
Sufyan bin Wahab bahwa dia berkata,
سمعت
رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع المزايدة
”Aku mendengar Rasulullah saw melarang
jual beli lelang.” (HR Al-Bazzar).
Praktik penawaran sesuatu yang sudah
ditawar orang lain dapat diklasifikasi menjadi tiga kategori: Pertama; Bila
terdapat pernyataan eksplisit dari penjual persetujuan harga dari salah satu
penawar, maka tidak diperkenankan bagi orang lain untuk menawarnya tanpa seizin
penawar yang disetujui tawarannya. Kedua; Bila tidak ada indikasi persetujuan
maupun penolakan tawaran dari penjual, maka tidak ada larangan syariat bagi
orang lain untuk menawarnya maupun menaikkan tawaran pertama, sebagaimana
analogi hadits Fathimah binti Qais ketika melaporkan kepada Nabi bahwa
Mu’awiyah dan Abu Jahm telah meminangnya, maka karena tidak ada indikasi
persetujuan darinya terhadap pinangan tersebut, beliau menawarkan padanya untuk
menikah dengan Usamah bin Zaid. Ketiga; Bila ada indikasi persetujuan dari
penjual terhadap suatu penawaran meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit,
maka menurut Ibnu Qudamah tetap tidak diperkenankan untuk ditawar orang lain.
Adapun mengenai tender pada
substansinya tidak jauh berbeda ketentuan hukumnya dari lelang karena sama-sama
penawaran suatu barang/jasa untuk mendapatkan harga yang dikehendaki dengan
kondisi barang/jasa sebagaimana diminati. Namun untuk mencegah adanya
penyimpangan syariah dan pelanggaran hak, norma dan etika dalam praktik lelang
maupun tender, syariat Islam memberikan panduan dan kriteria umum sebagai guide
line yaitu di antaranya:
1. Transaksi dilakukan oleh
pihak yang cakap hukum atas dasar saling sukarela
2. Objek lelang dan tender harus
halal dan bermanfaat
3. Kepemilikan penuh pada barang
atau jasa yang dijual
4. Kejelasan dan transparansi
barang/jasa yang dilelang atau dutenderkan tanpa adanya manipulasi seperti
window dressing atau lainnya
5. kesanggupan penyerahan barang
dari penjual
6. Kejelasan dan kepastian harga yang
disepakati tanpa berpotensi menimbulkan perselisihan.
7. Tidak menggunakan cara yang
menjurus kepada kolusi dan suap untuk memenangkan tender dan tawaran.
Segala bentuk rekayasa curang untuk
mengeruk keuntungan tidak sah dalam praktik lelang maupun tender dikategorikan
para ulama dalam praktik Najasy (komplotan/trik kotor tender dan lelang) yang
diharamkan Nabi saw. (HR. Bukhari dan Muslim) atau juga dapat dimasukkan dalam
kategori Risywah (sogok) bila penjual atau pembeli menggunakan uang, fasilitas
ataupun service untuk memenangkan tender ataupun lelang yang sebenranya tidak
memenuhi kriteria yang dikehendaki mitranya bisnisnya. Dengan demikian hukum
profesi juru lelang dan bekerja di balai lelang diperbolehkan dalam Islam
selama memenuhi kriteria umum yang digariskan syariatnya seperti di atas.
D. Penutup
Lelang adalah salah satu jenis jual
beli di mana pembeli menawarkan barang di tengah keramaian lalu para pembeli
saling menawar dengan harga lebih tinggi sampai pada batas harga tertinggi dari
salah satu pembeli, lalu terjadi akad dan pembeli tersebut mengambil barang
dari penjual (Abdullah al-Mushlih & Shalah ash-Shawi, Fikih Ekonomi
Keuangan Islam (Maa Laa Yasa’u al-Taajir Jahlahu), Jakarta : Darul Haq, 2004,
hal. 110). Beberapa pengertian di atas merupakan jawaban atas bagaimana
yang sebenarnya harus dilakukan dalam menjalankan sistem lelang dimana dalam
sistem Islam sangat menjaga sekali kejujuran tanpa adanya manipulasi ataupun
kecurangan kecurangan dalam menjalankas sistem lelang. Terutama dalam lelang
yang keberadaannya masih tidak real seperti bursa efek, harus di jalankan
secara sebaik-baiknya karena sistem seperti itu menjadikan bisnis yang bisa
menghasilkan uang yang bisa diidenikan dengan judi. Jual beli model lelang
dalam hukum Islam adalah boleh (mubah). Di dalam kitab Subulus salam disebutkan
Ibnu Abdil Barr berkata, ”Sesungguhnya tidak haram menjual barang kepada orang
dengan adanya penambahan harga (lelang), dengan kesepakatan (di antara semua
pihak).”
Sebagian ulama seperti an-Nakha`i memakruhkan jual beli lelang, dengan
dalil hadits dari Sufyan bin Wahab bahwa dia berkata,"Aku mendengar
Rasulullah SAW melarang jual beli lelang." (sami’tu rasulallah SAW nahaa
‘an bai’ al-muzayadah). (HR Al-Bazzar). (Lihat Imam As-Suyuthi, Al-Jami’
Ash-Shaghir, Juz II/191). Syariat Islam dengan berbagai pertimbangan yang
sangat dijunjung tinggi tidak melarang dalam melakukan usaha untuk mencari
kekayaan sebanyak-banyaknya dan dengan cara seperti apa selama cara yang
dilakukan masih berada dalam garis syariat yang dihalalkan. Sedangkan adanya
aturan dalam ajaran Islam tentunya tidak semata-matahanya aturan belaka yang
hanya menjadi dasar, tetapi merupakan suatu aturan yang berfungsi menjaga dari
adanya manipulasi atai kecurangan-kecurangan dalam menjalankan bisnis dengan
cara lelang. Tererutama dalam konteks sebuah proyek yang sangat besar bisa saja
terjadi penyelahgunaan diantara para kontraktor atau pertenden demi mendapatkan
penawaran yang paling pas denga keinginannya. Lelang dapat berupa penawaran
barang tertentu kepada penawar yang pada mulanya membuka lelang dengan harga
rendah kemudian semakin naik sampai akhirnya diberikan kepada calon pembeli
dengan harga tertinggi sebagaimana disebut dengan lelang naik.Untuk men download artikel, silahkan anda klik link di bawah ini :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar