A. Pengertian Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
adalah sekumpulan materi hukum Islam yang ditulis pasal demi pasal, berjumlah
229 pasal, terdiri atas tiga kelompok materi hukum, yaitu Hukum Perkawinan (170
pasal), Hukum Kewarisan termasuk wasiat dan hibah (44 pasal) dan Hukum
Perwakafan (14 pasal), ditambah satu pasal ketentuan penutup yang berlaku untuk
ketiga kelompok hukum tersebut. KHI disusun melalui jalan yang sangat panjang
dan melelahkan karena pengaruh perubahan sosial politik terjadi di negeri ini
dari masa ke masa.[1]
B.
Sosialisasi Kompilasi Hukum Islam
Inpres Nomor 1
Tahun 1991 pada dasarnya adalah perintah sosialisasi KHI untuk digunakan oleh
instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya. Secara tegas dalam
inpres tersebut disebutkan bahwa Presiden mengintruksikan kepada Menteri Agama
untuk menyeberluaskan KHI. Dmikian pula kepetusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun
1991, ada tiga butir penting disebutkan dalam dalam keputusan tersebut, yaitu pertama, seluruh intansi pemerintah
lainnya yang terkait agar menyebarluaskan KHI di bidang Hukum Perkawinan,
Kewarisan, dan Perwakafan untuk digunakan oleh intansi pemerintah dan
masyarakat yang memerlukannya dalam
menyelesaikan masalah di bidang hukum tersebut. Kedua, seluruh lingkungan intansi tersebut dalam menyelesaikan
masalah-masalah hukum sedapat munkin menerapkan KHI di samping peraturan
perundangan lainnya. Ketiga; Dirjen Binbaga Islam dan Dirjen BIUH mengkoordinasikan
pelaksanaan keputusan menteri ini dalam bidang tugasnya masing-masing.
Jika Impres
Nomor 1 tahun 1991 dan Kepmenag Nomor 154 Tahun dillaksankan dengan baik,
minimal oleh seluruh intansi di lingkungan Departemen Agama, disertai dengan
penyediaan sarana Prasarananya maka penyebarluasan dan penerapan KHI akan lebih
baik dari sekarang.
Sebetulnya
sosialisasi KHI dapat dilakukan oleh berbagai unit kerja dengan diintregasikan
bersama kegiatan lainnya. Sebagai contoh di lingkungan perguruan tinggi dan
madrasah , serta pesantren, KHI dapat dimasukkan sebagai salah satu mata
kuliah/mata pelajaran terkait .
Dalam kegiatan
sosialisasi KHI di lingkungan peradilan agama, dari tahun ke tahun sampai
sekarang, naskah KHI dan bahan-bahan penyuluhan lainnya terus dicetak dan
digandakan sesuai kebutuhan dan dana yang tersedia. Untuk lapisan masyarakat tertentu
, penyuluhan, dilakukan dengan metode seminar, sebagaimana yang telah dilakukan
di berbagai wilayah Indonesia.[2]
C.
Kompilasi Peradilan Agama dalam Bidang Perkara Waris[3]
Di dalam tata
hukum Indonesia, berlakunya bidang hukum bagi orang Islam berlain-lainan. Orang
Islam yang akan membagi warisan tidak harus tunduk pada ketentuan menurut Hukum
Kewarisan Islam. Hal ini diantaranya di dasarkan pada Pasal 49 dan Penjelasan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Pasal 49 ini diubah oleh Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. Pasal 49 menegaskan tentang kewenangan absolut Peradilan
Agama. Pasal ini berbunyi :
Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang:
a.
Perkawinan
b.
Waris
c.
Wasiat
d.
Hibah
e.
Wakaf
f.
Zakat
g.
Infaq
h.
Shadaqah
i.
Ekonomi syari’ah
Di dalam
penjelasan khususnya Pasal 49 huruf b ditegaskan bahwa bidang kewarisan adalah
mengenai penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan harga
peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan pelaksanaan
pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas
permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan
bagian masing-masing ahli waris.
Sehubungan
dengan hal tersebut, para pihak dapat mempertimbangkan untuk memiliki hukum apa
yang akan dipergunakan dalam pembagian warisan.
Kesimpulan
dari penjelasan tersebut, yakni menurut hukum positif (tata hukum) Indonesia,
orang Islam tidak harus tunduk pada hukum kewarisan Islam apabila mereka hendak
membagi warisan. Orang Islam boleh menggunakan pranata hukum lain (misalnya,
hukum kewarisan adat atau hukum kewarisan berdasrkan KUH perdata) apabila
hendak membagi kewarisan.
Adanya
kenyataan sebagaimana diuraikan di atas menyebabkan analisis yang mendalam
mengenai hukum kewarisan Islam di Indonesia mempunyai urgensi yang amat
menonjol.
Semakin
diterima dan meluasnya pendapat bahwa baik Al-Qur’an dan As-Sunnah menghendaki
sistem bilateral di bidang kewarisan, menyebabkan ada pembaruan yang cukup
menonjol dalam Kompilasi Hukum Islam.
[3] Drs. Moh. Muhibin S.H dan
Drs. Abdul Wahid S.H. M.A. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta. Sinar Grafika. Hal
173
bagaimana jika terjadi perbedaan diantara para ahli warisnya sendiri ? misalnya ada yang menghendaki KHI dan dilain pihak memakai hukum waris islam berdasarkan alquran dan sunah ?
BalasHapuspenghitungan warisan KHI itu berdasarkan ayat2 alquran dan hadis2 rasulullah
HapusTerima kasih atas informasinya, izin kopi ya.
BalasHapusThanks
pengencang payudara
artikelnya ini ada yang salah broo..di dalam penjelasan UU no.3 Thn 2006 disebutkan, sudah tidak ada lagi pilihan hukum bagi golongan islam. setiap orang beragama islam wajib tunduk pada pengadilan agama. dan masalah pembagian warisan harus secara hukum islam juga cfm.KHI
BalasHapus