- Pengertian
Mukhabarah/
muzara’ah menurut bahasa memiliki dua arti, yang pertama Tharh al-zur’ah (
melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal (al hadzar). Makna yang pertama
adalah makna majaz dan makna yang kedua adalah makna hakiki.[1]
Secara istilah,
Ulama Fiqh berbeda pendapat tentang Mukhabarah. Di antaranya adalah sebagai
berikut :
1. Menurut Hanafiah
Muzara’ah adalah
akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi. Sedangkan Mukhabarah
adalah Akad untuk bercocok tanam dengan sebagian apa-apa yang keluar dari bumi.
2. Menurut Hanabilah
Muzara’ah adalah
pemilik tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja
diberi bibit.
3. Menurut Malikiyah
Muzara’ah adalah
bersekutu dalam akad.
4. Menurut Syafi’iyah
Mukhabarah adalah menggarap
tanah dengan apa yang dikeluarkan dari tanah tersebut. Sedangkan muzara’ah
adalah seorang pekerja menyewa tanah dengan apa yang dihasilkan dari tanah
tersebut.
5. Syaikh Ibrahim al-Bajuri
Mukhabarah adalah Sesungguhnya
pemilik hanya menyerahkan tanah kepada pekerja dan modal dari pengelola.
Sedangkan muzara’ah adalah pekerja mengelola tanah dengan sebagian apa yang
dihasilkan darinya dan modal dari pemilik tanah.
Setelah diketahui
definisi-definisi di atas, dapat dipahami bahwa mukhabarah dan muzara’ah ada
kesamaan dan adapula perbedaan. Persamaannya ialah antara mukhabarah dan
muzara’ah terjadi pada peristiwa yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain
untuk dikelola. Perbedaannya adalah pada modal, bila modal berasal dari
pengelola disebut mukhabarah dan bila modal dikeluarkan dari pemilik tanah
disebut muzara’ah.[2]
- Landasan Hukum
Dasar hukum yang
digunakan para ulama dalam menetapkan hukum mukhabarah dan muzara’ah adalah
sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas r.a.
إ نّ ا لنّبي ص. م لم يحرّ م ا لمز ا ر عة و لكن ا مر ا ن ير فق بعضهم ببعض
بقو له من كا نت له ا ر ض فليز ر عها أ و ليمنحها ا خا ه فا ن أ بى فليمسك ا ر ضه
“Sesungguhnya Nabi
Saw. menyatakan, tidak mengharamkan bermuzara’ah , bahkan beliau menyuruhnya,
supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya, barangsiapa
yang memilik tanah, maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada
saudaranya, jika ia tidak mau, maka boleh ditahan saja tanah itu.”[3]
Abu Yusuf , Imam
Malik, Ahmad, dan Abu Dawud Azh-Zhahiri, berpendapat bahwa muzara’ah diperbolehkan.
Hal itu didasarkan pada hadist yang diriwayatkan Ibn Umar bahwa Nabi Saw.
bermuamalah dengan ahli khaibar dengan setengah dari yang dihasilkan dari
tanaman, baik buah-buahan maupun tumbuh-tumbuhan.[4]
- Rukun-rukun dan Syarat –syaratnya
Menurut Hanafiah,
rukunnya hanya satu ialah akad, yaitu ijab dan kabul antara pemilik dan
pekerja.
Secara rinci,
jumlah rukun-rukun dari kedua akad tersebut menurut Abu Yusuf dan Muhamad
adalah sebagai berikut :
1.
Yang berkaitan dengan Aqid
a. Mumayidz , tetapi tidak
diisyaratkan baliqh.
b. Bukan orang yang murtad.
2.
Syarat tanaman
Di antara para
ulama terjadi perbedaan pendapat, tetapi kebanyakan menganggap lebih baik jika
diserahkan kepada pekerja.
3. Syarat dengan garapan.
a. Memungkinkan untuk digarap.
b. Jelas.
c. Ada penyerahan tanah.
4. Syarat-syarat tanaman yang
dihasilkan.
a. Jelas ketika akad.
b. Diharuskan kerja sama dua
orang yang akad.
c. Ditetapkan ukuran antara
keduanya, seperti sepertiga, setengah, dan lain-lain.
d. Hasil dari tanaman harus
menyeluruh di antara dua orang yang akan melangsungkan akad.
5. Tujuan Akad
Tujuan akad disini harus berdasarkan
pada tujuan syara’ yaitu untuk memanfaatkan pekerja atau memanfaatkan tanah.
6. Syarat alat bercocok tanam
Dibolehkan menggunakan alat
tradisional atau modern dengan maksud sebagai konsekuensi atas akad. Jika hanya
bermaksud menggunakan alat, dan tidak dikaitkan dengan akad maka mukhabarah
maupun muzara’ah dipandang rusak.
7. Tempo[5]
Menurut ulama
Malikiyah, syarat-syarat mukhabarah maupun mujara’ah adalah :
1. Kedua orang yang
melangsungkan akad harus menyerahkan benih.
2. Hasil yang diperoleh harus
disamakan antara pemilik tanah dan penggarap.
3. Benih harus berasal dari
kedua orang yang melangsungkan akad.
- Eksistensi Muzara’ah dan Mukhabarah
Menurut
Abu Yusuf dan Muhammad Muzara’ah maupun Mukhabarah mempunyai empat keadaan,
tiga sahih dan satu batal.
1. Dibolehkan, jika tanah dan
benih berasal dari pemilik, sedngkan pekerjaan dan alat penggarap berasal dari
penggarap.
2. Dibolehkan, jika tanah dari
seseorang, sedangkan benih , alat penggarap, dan pekerjaan dari penggarap.
3. Dibolehkan, jika tanah,
benih, dan alat penggarap berasal dari pemilik, sedangkan pekerjaan berasal
dari penggarap.
4. Tidak dibolehkan, jika tanah
dan hewan berasal dari pemilik tanah, sedangkan benih dan pekerjaan dari
penggarap.
- Hukum Mukhabarah dan Muzara’ah
Sahih menurut
Hanafiyah
Menurut
ulama Hanafiyah, hukum mukhabarah maupun muzara’ah adalah sebagai berikut :
1. Segala keperluan untuk
memelihara tanaman diserahkan kepada penggarap.
2. Pembiayaan atas tanaman
dibagi antara penggarap dan pemilik tanah.
3. Hasil yang diperoleh dibgikan
berdasarkan kesepakatan pada waktu akad.
4. Menyiram atau menjaga
tanaman, jika diisyaratkan akan dilakukan bersama, hal itu harus dipenuhi. Akan
tetapi, jika tidak ada kesepakatan maka
penggaraplah yang paling bertanggung jawab menyiram atau menjaga tanaman.
Fasid menurut
Hanafiyah
Telah
disinggung bahwa ulama syafi’iyah melarang akad tersebut, jika benih dari
pemilik, kecuali bila dianggap sebagai mushaqah. Begitu pula jika benih
dari penggarap, hal itu tidak boleh sebagaimana dalam mushaqah.
- Penghabisan Mukhabarah maupun Muzara’ah
Beberapa
hal yang menyebabkan Mukhabarah dan Muzara’ah habis.
1. Habis masanya
2. Salah seorang yang berakad
meninggal
3. Adanya uzur. Menurut ulama
Hanafiah, diantara uzur yang menyebabkan batalnya akad, antara lain :
a. Tanah garapan terpaksa
dijual, misalnya untuk membayar hutang.
b. Penggarap tidak dapat
mengelola tanah, seperti sakit, jihad di jalan Allah.[6]
Penutup
- Kesimpulan
Mukhabarah/
muzara’ah menurut bahasa memiliki dua arti, yang pertama Tharh al-zur’ah (
melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal (al hadzar). Makna yang pertama
adalah makna majaz dan makna yang kedua adalah makna hakiki.
Dasar hukum yang digunakan
para ulama dalam menetapkan hukum mukhabarah dan muzara’ah adalah
sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas r.a.
Menurut Hanafiah,
rukunnya hanya satu ialah akad, yaitu ijab dan kabul antara pemilik dan
pekerja.
Secara rinci,
jumlah rukun-rukun dari kedua akad tersebut menurut Abu Yusuf dan Muhamad
adalah sebagai berikut :Yang berkaitan dengan Aqid,Syarat tanaman ,
Syarat-syarat tanaman yang dihasilkan, Tujuan Akad ,Syarat alat bercocok
tanam,Tempo.
Menurut ulama Malikiyah,
syarat-syarat mukhabarah maupun mujara’ah adalah :
·
Kedua orang yang melangsungkan akad harus menyerahkan benih.
·
Hasil yang diperoleh harus disamakan antara pemilik tanah dan penggarap.
·
Benih harus berasal dari kedua orang yang melangsungkan akad.
Menurut
Abu Yusuf dan Muhammad Muzara’ah maupun Mukhabarah mempunyai empat keadaan,
tiga sahih dan satu batal.
·
Dibolehkan, jika tanah dan benih berasal dari pemilik, sedngkan pekerjaan
dan alat penggarap berasal dari penggarap.
·
Dibolehkan, jika tanah dari seseorang, sedangkan benih , alat penggarap,
dan pekerjaan dari penggarap.
§ Dibolehkan, jika tanah,
benih, dan alat penggarap berasal dari pemilik, sedangkan pekerjaan berasal
dari penggarap.
·
Tidak dibolehkan, jika tanah dan hewan berasal dari pemilik tanah,
sedangkan benih dan pekerjaan dari penggarap.
Beberapa
hal yang menyebabkan Mukhabarah dan Muzara’ah habis.
·
Habis masanya
·
Salah seorang yang berakad meninggal
·
Adanya uzur. Menurut ulama Hanafiah, diantara uzur yang menyebabkan
batalnya akad, antara lain :
1. Tanah garapan terpaksa
dijual, misalnya untuk membayar hutang.
2. Penggarap tidak dapat
mengelola tanah, seperti sakit, jihad di jalan Allah.[7]
Daftar Pustaka
Suhendi, Hendi . fiqh Muamalah. Jakarta.
Raja Grafindo persada. 2008
Syafe’i, Rachmat
. fiqh Muamalah. Bandung. Pustaka Setia. 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar