Pengertian Upah dalam Konsep Islam
Upah menurut pengertian Barat
terkait dengan pemberian imbalan kepada pekerja tidak tetap, atau tenaga buruh
lepas, seperti upah buruh lepas di perkebunan kelapa sawit, upah pekerja
bangunan yang dibayar mingguan atau bahkan harian. Sedangkan gaji menurut
pengertian Barat terkait dengan imbalan uang (finansial) yang diterima oleh
karyawan atau pekerja tetap dan dibayarkan sebulan sekali. Sehingga
dalam pengertian barat, Perbedaan gaji dan upah itu terletak pada Jenis
karyawannya (Tetap atau tidak tetap) dan sistem pembayarannya (bulanan atau
tidak). Meskipun titik berat antara upah
dan gaji
terletak pada
jenis karyawannya apakah tetap ataukah tidak.
“Upah atau Gaji biasa, pokok atau
minimum dan setiap emolumen tambahan yang dibayarkan langsung atau tidak
langsung, apakah dalam bentuk uang tunai atau barang, oleh pengusaha kepada
pekerja dalam kaitan dengan hubungan kerja” (Konvensi ILO nomor 100).2
Menurut Dewan Penelitian Perupahan
Nasional : Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pemberi kepada
penerima kerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah dan akan dilakukan,
berfungsi sebagai jaminan kelangsungan hidup yang layak bagi kemanusiaan dan
produksi, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut
suatu persetujuan, undang-undang dan peraturan dan dibayarkan atas dasar suatu
perjanjian kerja antara pemberi dan penerima kerja.3
Dalam hal perbedaan pengertian upah
dan gaji menurut konsep Barat di atas, maka Islam menggariskan upah dan gaji
lebih komprehensif dari pada Barat.
Allah menegaskan tentang imbalan ini
dalam Qur’an sbb :
“Dan
katakanlah : “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang
mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah
Yang Mengetahui akan ghaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa
yang kamu kerjakan.” (At Taubah : 105).
Dalam menafsirkan At Taubah ayat 105
ini, Quraish Shihab menjelaskan dalam kitabnya Tafsir Al-Misbah sbb :
“Bekerjalah Kamu, demi karena
Allah semata dengan aneka amal yang saleh dan bermanfaat, baik untuk diri kamu
maupun untuk masyarakat umum, maka Allah akan melihat yakni menilai dan
memberi ganjaran amal kamu itu”4
Tafsir dari melihat dalam
keterangan diatas adalah menilai dan memberi ganjaran terhadap amal-amal
itu. Sebutan lain daripada ganjaran adalah imbalan atau upah atau compensation.
“Barang
siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang
baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala
yang lebih baik apa yang telah mereka kerjakan.” (An Nahl : 97).
Dalam menafsirkan At Nahl ayat 97
ini, Quraish Shihab menjelaskan dalam kitabnya Tafsir Al-Misbah sbb :
“Barang siapa yang mengerjakan
amal saleh, apapun jenis kelaminnya, baik laki-laki maupun perempuan,
sedang dia adalah mukmin yakni amal yang dilakukannya lahir atas dorongan
keimanan yang shahih, maka sesungguhnya pasti akan kami berikan kepadanya masing-masing
kehidupan yang baik di dunia ini dan sesungguhnya akan kami berikan
balasan kepada mereka semua di dunia dan di akherat dengan pahala
yang lebih baik dan berlipat ganda
dari apa yang telah mereka kerjakan“.5
Tafsir dari balasan dalam
keterangan d iatas adalah balasan di dunia dan di akherat. Ayat ini
menegaskan bahwa balasan atau imbalan bagi mereka yang beramal saleh adalah
imbalan dunia dan imbalan akherat. Amal Saleh sendiri oleh Syeikh
Muhammad Abduh didefenisikan sebagai segala perbuatan yang berguna bagi
pribadi, keluarga, kelompok dan manusia secara keseluruhan.6 Sementara menurut
Syeikh Az-Zamakhsari, Amal Saleh adalah segala perbuatan yang sesuai dengan
dalil akal, al-Qur’an dan atau Sunnah Nabi Muhammad Saw.7 Menurut Defenisi
Muhammad Abduh dan Zamakhsari diatas, maka seorang yang bekerja pada suatu
badan usaha (perusahaan) dapat dikategorikan sebagai amal saleh, dengan syarat
perusahaannya tidak memproduksi/menjual atau mengusahakan barang-barang yang
haram. Dengan demikian, maka seorang karyawan yang bekerja dengan benar,
akan menerima dua imbalan, yaitu imbalan di dunia dan imbalan di akherat.
“Sesungguhnya
mereka yang beriman dan beramal saleh tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan
pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan baik.” (Al Kahfi : 30).
Berdasarkan tiga ayat diatas,
yaitu At-Taubah 105, An-Nahl 97
dan
Al-Kahfi 30, maka Imbalan dalam konsep Islam menekankan pada dua aspek, yaitu
dunia dan akherat. Tetapi hal yang paling penting, adalah bahwa penekanan
kepada akherat itu lebih penting daripada penekanan
terhadap dunia (dalam
hal ini materi) sebagaimana semangat dan
jiwa Al-Qur’an surat Al-Qhashsash ayat 77.
Surat At Taubah 105 menjelaskan
bahwa Allah memerintahkan kita untuk bekerja, dan Allah pasti membalas semua
apa yang telah kita kerjakan. Yang paling unik dalam ayat ini adalah penegasan
Allah bahwa motivasi atau niat bekerja itu mestilah benar. Sebab kalau
motivasi bekerja tidak benar, Allah akan membalas dengan cara memberi azab.
Sebaliknya, kalau motivasi itu benar, maka Allah akan membalas pekerjaan itu
dengan balasan yang lebih baik dari apa yang kita kerjakan (An-Nahl : 97).
Lebih jauh Surat An-Nahl : 97
menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan gender dalam menerima upah / balasan dari
Allah. Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada diskriminasi upah dalam Islam,
jika mereka mengerjakan pekerjaan yang sama. Hal yang menarik dari ayat
ini, adalah balasan Allah langsung di dunia (kehidupan yang baik/rezeki yang
halal) dan balasan di akherat (dalam bentuk pahala).
Sementara itu, Surat Al-Kahfi : 30
menegaskan bahwa balasan terhadap pekerjaan yang telah dilakukan manusia, pasti
Allah balas dengan adil. Allah tidak akan berlaku zalim dengan cara
menyia-nyiakan amal hamba-Nya. Konsep keadilan dalam upah inilah yang
sangat mendominasi dalam setiap praktek yang pernah terjadi di negeri Islam.
Lebih lanjut kalau kita lihat hadits
Rasulullah saw tentang upah yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah
s.a.w bersabda :
“ Mereka (para budak dan
pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu;
sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya
makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa
yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang
sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka
hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).8
Dari hadits ini dapat didefenisikan
bahwa upah yang sifatnya materi (upah di dunia) mestilah terkait dengan
keterjaminan dan ketercukupan pangan dan sandang. Perkataan : “harus
diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian
seperti apa yang dipakainya (sendiri)” , bermakna bahwa upah yang diterima
harus menjamin makan dan pakaian karyawan yang menerima upah.
Dalam hadits yang lain, diriwayatkan
dari Mustawrid bin Syadad Rasulullah s.a.w bersabda :
“Siap yang menjadi pekerja bagi
kita, hendaklah ia
mencarikan isteri (untuknya); seorang pembantu
bila tidak memilikinya, hendaklah ia mencarikannya
untuk pembantunya. Bila ia tidak mempunyai tempat tinggal, hendaklah ia
mencarikan tempat tinggal. Abu Bakar mengatakan: Diberitakan kepadaku bahwa
Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Siapa yang mengambil sikap selain itu, maka ia
adalah seorang yang keterlaluan atau pencuri.” (HR. Abu Daud).9
Hadits ini menegaskan bahwa
kebutuhan papan (tempat tinggal) merupakan kebutuhan azasi bagi para karyawan.
Bahkan menjadi tanggung jawab majikan juga untuk mencarikan jodoh bagi
karyawannya yang masih lajang (sendiri). Hal ini ditegaskan lagi oleh
Doktor Abdul Wahab Abdul Aziz As-Syaisyani dalam kitabnya Huququl Insan Wa
Hurriyyatul Asasiyah Fin Nidzomil Islami Wa Nudzumil Ma’siroti bahwa mencarikan
istri juga merupakan kewajiban majikan, karena istri adalah kebutuhan pokok bagi
para karyawan.10
Sehingga dari ayat-ayat
Al-Qur’an di atas, dan dari hadits-hadits di atas, maka dapat didefenisikan
bahwa : Upah adalah imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya dalam
bentuk imbalan materi di dunia (Adil dan Layak) dan dalam bentuk imbalan
pahala di akherat (imbalan yang lebih baik).
Dari uraian diatas, paling tidak
terdapat 2 Perbedaan konsep Upah antara Barat dan Islam: pertama,
Islam melihat Upah sangat besar kaitannya dengan konsep Moral, sementara Barat
tidak. Kedua, Upah dalam Islam tidak hanya sebatas materi
(kebendaan atau keduniaan) tetapi menembus batas kehidupan, yakni berdimensi
akherat yang disebut dengan Pahala, sementara Barat tidak. Adapun persamaan
kedua konsep Upah antara Barat dan Islam adalah; pertama, prinsip
keadilan (justice), dan kedua, prinsip kelayakan (kecukupan).
Tabel 1. Konsep Upah antara Barat
dan Islam
No
|
Aspek
|
Barat
|
Islam
|
1
|
Keterkaitan yang erat antara UPAH
dengan MORAL
|
Tidak
|
Ya
|
2
|
Upah memiliki dua dimensi : Dunia
dan akherat
|
Tidak
|
Ya
|
3
|
Upah diberikan berdasarkan Prinsip
Keadilan (justice)
|
Ya
|
Ya
|
4
|
Upah diberikan berdasarkan prinsip
Kelayakan
|
Ya
|
Ya
|
ADIL
Organisasi yang menerapkan prinsip
keadilan dalam pengupahan mencerminkan organisasi yang dipimpin oleh
orang-orang bertaqwa. Konsep adil ini merupakan ciri-ciri organisasi yang
bertaqwa. Al-Qur’an menegaskan :
“Berbuat
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada Taqwa”. (QS. Al-Maidah : 8).
ADIL
bermakna JELAS dan TRANSPARAN
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bemua’malah
tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis
diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu),
dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah
akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan
dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu. Jika tak ada dua
orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari
saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi
mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka di panggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas
waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi
Allah dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah
mua’malahmu itu), kecuali jika mua’malah itu perdagangan tunai yang kamu
jalankan di antara kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah
apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling
sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya
hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertaqwalah kepada Allah; Allah
mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah :
282)
“Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan
dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika
kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut
yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al-Maidah : 1).
Nabi bersabda :
“Berikanlah
gaji kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan
gajinya, terhadap apa yang dikerjakan”. (HR. Baihaqi).11
Dari dua ayat Al-Qur’an dan hadits
riwayat Baihaqi di atas, dapat diketahui bahwa prinsip utama keadilan terletak
pada Kejelasan aqad (transaksi) dan komitmen melakukannya. Aqad
dalam perburuhan adalah aqad yang terjadi antara pekerja dengan
pengusaha. Artinya, sebelum pekerja dipekerjakan, harus jelas dahulu
bagaimana upah yang akan diterima oleh pekerja. Upah tersebut meliputi besarnya
upah dan tata cara pembayaran upah. Khusus untuk cara pembayaran upah, Rasulullah
bersabda :
“Dari
Abdillah bin Umar, Rasulullah Saw. Bersabda: “Berikanlah upah orang upahan
sebelum kering keringatnya“.
(HR. Ibnu Majah dan Imam Thabrani).12
Dalam menjelaskan hadits itu, Syeikh
Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Pesan Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam,
menjelaskan sebagai berikut :
Sesungguhnya seorang pekerja hanya
berhak atas upahnya jika ia telah menunaikan pekerjaannya dengan semestinya dan
sesuai dengan kesepakatan, karena umat Islam terikat dengan syarat-syarat antar
mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram. Namun, jika ia membolos bekerja tanpa alasan yang benar atau
sengaja menunaikannya dengan tidak semestinya, maka sepatutnya hal itu
diperhitungkan atasnya (dipotong upahnya) karena setiap hak dibarengi dengan
kewajiban. Selama ia mendapatkan upah secara penuh, maka
kewajibannya juga harus dipenuhi. Sepatutnya hal ini dijelaskan secara
detail dalam “peraturan kerja” yang menjelaskan masing-masing hak dan kewajiban
kedua belah pihak.13
Dari penjelasan Syeikh Qardhawi
diatas, dapat dilihat bahwa upah atau gaji merupakan hak karyawan selama
karyawan tersebut bekerja dengan baik. Jika pekerja tersebut tidak benar dalam
bekerja (yang dicontohkan oleh Syeikh Qardhawi dengan bolos tanpa alasan yang
jelas), maka gajinya dapat dipotong atau disesuaikan. Hal ini menjelaskan
kepada kita bahwa selain hak karyawan memperoleh upah atas apa yang
diusahakannya, juga hak perusahaan untuk memperoleh hasil kerja dari karyawan
dengan baik. Bahkan Syeikh Qardhawi mengatakan bahwa bekerja yang baik
merupakan kewajiban karyawan atas hak upah yang diperolehnya, demikian
juga, memberi upah merupakan kewajiban perusahaan atas hak hasil kerja karyawan
yang diperolehnya. Dalam keadaan masa kini, maka aturan-aturan bekerja
yang baik itu, dituangkan dalam buku Pedoman Kepegawaian yang ada di
masing-masing perusahaan. Hadits lain yang menjelaskan tentang pembayaran upah
ini adalah :
“Diriwayatkan
dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Muhammad Saw. bahwa beliau bersabda: “Allah
telah berfirman: “Ada tiga jenis manusia dimana Aku adalah musuh mereka nanti
di hari kiamat. Pertama, adalah orang yang membuat komitmen akan memberi atas
nama-Ku (bersumpah dengan nama-Ku), kemudian ia tidak memenuhinya. Kedua, orang
yang menjual seorang manusia bebas (bukan budak), lalu memakan uangnya. Ketiga,
adalah orang yang menyewa seorang upahan dan mempekerjakan dengan penuh, tetapi
tidak membayar upahnya” (HR.
Bukhari).14
Hadits-hadits diatas menegaskan
tentang waktu pembayaran upah, agar sangat diperhatikan. Keterlambatan
pembayaran upah, dikategorikan sebagai perbuatan zalim dan orang yang tidak
membayar upah para pekerjanya termasuk orang yang dimusuhi oleh Nabi saw pada
hari kiamat. Dalam hal ini, Islam sangat menghargai waktu dan sangat menghargai
tenaga seorang karyawan (buruh).
ADIL
bermakna PROPORSIONAL
“Dan bagi
masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar
Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang
mereka tiada dirugikan.”
(QS. Al-Ahqaf : 19).
“Dan kamu
tidak dibalas, melainkan dengan apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Yaasin : 54).
“Bahwasanya
seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm : 39).
Ayat-ayat ini menegaskan bahwa
pekerjaan seseorang akan dibalas menurut berat pekerjaannya itu. Konteks
ini yang oleh pakar manajemen Barat diterjemahkan menjadi equal pay for
equal job, yang artinya, upah yang sama untuk jenis pekerjaan yang
sama. Jika ada dua orang atau lebih mengerjakan pekerjaan yang sama, maka
upah mereka mesti sama. Prinsip ini telah menjadi hasil konvensi
International Labour Organization (ILO) nomor 100.15
Sistem manajemen penggajian HAY atau
yang sering disebut dengan Hay System, telah menerapkan konsep ini. Siapapun
pekerja atau karyawannya, apakah tua atau muda, berpendidikan atau tidak,
selagi mereka mengerjakan pekerjaan yang sama, maka mereka akan dibayar dengan
upah yang sama.
LAYAK
Jika Adil berbicara tentang
kejelasan, transparansi serta proporsionalitas ditinjau dari berat
pekerjaannya, maka Layak berhubungan dengan besaran
yang diterima
LAYAK
bermakna CUKUP PANGAN, SANDANG, PAPAN
Jika ditinjau dari hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah s.a.w bersabda :
“Mereka
(para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah
asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus
diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian
seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan
tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu,
maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).16
Dalam hadits lain yang diriwayatkan
oleh Mustawrid bin Syadad Rasulullah Saw. bersabda:
“Aku
mendengar Nabi Muhammad saw bersabda : „Siapa yang menjadi pekerja bagi
kita, hendaklah ia mencarikan istri untuknya; ; seorang pembantu bila tidak
memilikinya, hendaklah ia mencarikannya untuk pembantunya. . Bila ia
tidak mempunyai tempat tinggal, hendaklah ia mencarikan tempat tinggal.
Abu Bakar mengatakan:
Diberitakan
kepadaku bahwa Nabi Muhammad bersabda : Siapa yang mengambil sikap selain
itu, maka ia adalah seorang yang keterlaluan atau pencuri” (HR Abu Daud).17
Dari dua hadits diatas, dapat
diketahui bahwa kelayakan upah yang diterima oleh pekerja dilihat dari 3 aspek
yaitu : Pangan (makanan), Sandang (Pakaian) dan papan (tempat tinggal).
Bahkan bagi pegawai atau karyawan yang masih belum menikah, menjadi tugas
majikan yang mempekerjakannya untuk mencarikan jodohnya. Artinya,
hubungan antara majikan dengan pekerja bukan hanya sebatas hubungan pekerjaan
formal, tetapi karyawan sudah dianggap merupakan keluarga majikan. Konsep
menganggap karyawan sebagai keluarga majikan merupakan konsep Islam yang lebih
14 abad yang lalu telah dicetuskan.
Konsep ini dipakai oleh
pengusaha-pengusaha Arab pada masa lalu, dimana mereka (pengusaha muslim)
seringkali memperhatikan kehidupan karyawannya di luar lingkungan
kerjanya. Hal inilah yang sangat jarang dilakukan saat ini. Wilson menulis
dalam bukunya yang berjudul Islamic Business Theory and Practice yang
artinya kira-kira “walaupun perusahaan itu bukanlah perusahaan keluarga, para
majikan Muslimin acapkali memperhatikan kehidupan karyawan di luar lingkungan
kerjanya, hal ini sulit untuk dipahami para pengusaha Barat“.[1] Konsep
inilah yang sangat berbeda dengan konsep upah menurut Barat. Konsep upah
menurut Islam, tidak dapat dipisahkan dari konsep
moral. Mungkin sah-sah saja jika gaji seorang pegawai di
Barat sangat kecil
karena pekerjaannya sangat remeh
(misalnya cleaning service). Tetapi dalam konsep Islam, meskipun cleaning
service, tetap faktor LAYAK menjadi pertimbangan utama dalam menentukan
berapa upah yang akan diberikan.
LAYAK
bermakna SESUAI DENGAN PASARAN
“Dan
janganlah kamu merugikan manusia akan hak-haknya dan janganlah kamu merajalela
di muka bumi membuat kerusakan.”
(QS. Asy-Syua’ra 26 : 183).
Ayat di atas bermakna bahwa
janganlah seseorang merugikan orang lain, dengan cara mengurangi hak-hak yang
seharusnya diperolehnya. Dalam pengertian yang lebih jauh, hak-hak dalam
upah bermakna bahwa janganlah mempekerjakan upah seseorang, jauh dibawah upah
yang biasanya diberikan. Misalnya saja untuk seorang staf administrasi, yang
upah perbulannya menurut pasaran adalah Rp 900.000,-. Tetapi di
perusahaan tertentu diberi upah Rp 500.000,-. Hal ini berarti mengurangi
hak-hak pekerja tersebut. Dengan kata lain, perusahaan tersebut telah memotong
hak pegawai tersebut sebanyak Rp 400.000,- perbulan. Jika ini dibiarkan
terjadi, maka pengusaha sudah tidak berbuat layak bagi si pekerja tersebut.
Dari uraian Upah menurut Konsep
Islam diatas, maka dapat digambarkan bagaimana konsep Upah dalam Islam seperti
tertera dalam Gambar 2 Dapat dilihat bahwa Upah dalam konsep Syariah
memiliki 2 dimensi, yaitu dimensi dunia dan dimensi akherat. Untuk
menerapkan upah dalam dimensi dunia, maka
konsep moral merupakan hal yang sangat penting
agar pahala dapat diperoleh sebagai dimensi akherat dari upah
tersebut. Jika moral diabaikan, maka dimensi akherat tidak akan tercapai.
Oleh karena itulah konsep moral diletakkan pada kotak paling luar, yang
artinya, konsep moral diperlukan untuk menerapkan upah dimensi dunia agar upah
dimensi akherat dapat tercapai.
Dimensi upah di dunia dicirikan oleh
2 hal, yaitu adil dan layak. Adil bermakna bahwa upah yang diberikan
harus jelas, transparan dan proporsional. Layak bermakna bahwa upah yang
diberikan harus mencukupi kebutuhan pangan, sandang dan papan serta tidak jauh
berada di bawah pasaran. Aturan manajemen upah ini perlu didudukkan pada
posisinya, agar memudahkan bagi kaum muslimin atau pengusaha muslim dalam
mengimplementasikan manajemen syariah dalam pengupahan karyawannya di
perusahan.